Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) sudah mengeluarkan perintah agar pengelola pelabuhan mengubah sistem transaksi kargo, yang sebelumnya menggunakan mata uang Dolar Amerika (USD) menjadi Rupiah. Namun, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, yang mengelola Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, menolaknya.
Direktur Utama Pelindo II Robert Joost Lino beralasan sampai sekarang transaksi menggunakan mata uang asing masih diperbolehkan undang-undang. Dia melihat memaksa pihaknya mengubah USD ke Rupiah juga tak akan berdampak banyak pada stabilitas nilai tukar.
"Memakai Dolar itu untuk jasa level internasional dibolehkan UU. Terminal handling hanya USD 92, sementara pengapalan total dari luar negeri rata-rata USD 1.500, porsinya kecil," kata Lino.
Alasan lainnya, mitra bisnis Pelindo, terutama dari luar negeri, akan kerepotan ketika harus mengubah struktur biaya dari USD menjadi Rupiah. "Banyak partner kita terutama perusahaan pengapalan internasional menggunakan Dolar, bukan Rupiah. Nanti mereka malah tidak mau ke sini karena mata uang lokal lebih tidak stabil," tuturnya.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini juga khawatir, jika bisnis pelabuhan dipaksa memakai Rupiah di segala aspeknya, investor tidak mau menanamkan modal. Lino mengaku, banyak calon pemodal dari luar negeri ingin terjun ke bisnis pelabuhan, karena sistem keuangan yang dipakai berbasis USD.
"Itu investasi pelabuhan menarik mereka karena dalam USD, enggak ada risiko exchange rate. Kita kan katanya ingin investasi datang ke sini. Jadi kita justru lebih nasionalis," cetusnya.
Hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Fiskal, Pajak, Infrastruktur dan Tenaga Kerja di Kemenko Perekonomian, dua bulan lalu, menyatakan bahwa transaksi di pelabuhan wajib menggunakan Rupiah. Hal itu diharapkan membuat tekanan pada nilai tukar dalam negeri berkurang.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkritik pemerintah lantaran terkesan menganakemaskan Pelindo II. Pelabuhan merupakan institusi yang sejak lama menggunakan USD untuk seluruh transaksinya.
Sumber : Merdeka.com